Kerajaan Sumedang Larang
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sejarah
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang)
adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi
Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor,
karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak
(Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus
Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk
menentukan nasibnya sendiri.
No. | Masa[1] | Tahun |
---|---|---|
1 | Kerajaan Sumedang Larang | 900 - 1601 |
2 | Pemerintahan Mataram II | 1601 - 1706 |
3 | Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) | 1706 - 1811 |
4 | Pemerintahan Inggris | 1811 - 1816 |
5 | Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie | 1816 - 1942 |
6 | Pemerintahan Jepang | 1942 - 1945 |
7 | Pemerintahan Republik Indonesia | 1945 - 1947 |
8 | Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda | 1947 - 1949 |
9 | Pemerintahan Negara Pasundan | 1949 - 1950 |
10 | Pemerintahan Republik Indonesia | 1950 - sekarang |
Asal-mula nama
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih
atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke
Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama
Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan
Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
No. | Nama[1] | Tahun | |
---|---|---|---|
1 | Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang | ||
a | Prabu Guru Aji Putih | 900 | |
b | Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela | 950 | |
c | Prabu Gajah Agung | 980 | |
d | Sunan Guling | 1000 | |
e | Sunan Tuakan | 1200 | |
f | Nyi Mas Ratu Patuakan | 1450 | |
g | Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata | 1530 - 1578 | |
h | Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya | 1578 - 1601 | |
2 | Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II | ||
a | R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I | 1601 - 1625 | |
b | Pangeran Rangga Gede | 1625 - 1633 | |
c | Pangeran Rangga Gempol II | 1633 - 1656 | |
d | Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III | 1656 - 1706 | |
3 | Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang | ||
a | Dalem Tumenggung Tanumaja | 1706 - 1709 | |
b | Pangeran Karuhun | 1709 - 1744 | |
c | Dalem Istri Rajaningrat | 1744 - 1759 | |
d | Dalem Anom | 1759 - 1761 | |
e | Dalem Adipati Surianagara | 1761 - 1765 | |
f | Dalem Adipati Surialaga | 1765 - 1773 | |
g | Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) | 1773 - 1775 | |
h | Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) | 1775 - 1789 | |
i | Dalem Aria Sacapati | 1789 - 1791 | |
j | Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata | 1791 - 1800 | |
k | Bupati Republik Batavia Nederland | 1800 - 1810 | |
l | Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte | 1805 - 1810 | |
m | Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte | 1810 - 1811 | |
n | Bupati Masa Pemerintahan Inggris | 1811 - 1815 | |
o | Bupati Kerajaan Nederland | 1815 - 1828 | |
p | Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung | 1828 - 1833 | |
q | Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit | 1833 - 1834 | |
r | Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja | 1834 - 1836 | |
s | Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih | 1836 - 1882 | |
t | Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah | 1882 - 1919 | |
u | Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang | 1919 - 1937 | |
v | Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri | 1937 - 1942 | |
w | Bupati Masa Pemerintahan Jepang | 1942 - 1945 | |
x | Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia | 1945 - 1946 | |
4 | Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia | ||
a | Raden Hasan Suria Sacakusumah | 1946 - 1947 | |
5 | Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia | ||
a | Raden Tumenggung M. Singer | 1947 - 1949 | |
6 | Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan | ||
a | Raden Hasan Suria Sacakusumah | 1949 - 1950 | |
7 | Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia | ||
a | Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) | 1950 | |
b | Raden Abdurachman Kartadipura | 1950 - 1951 | |
c | Sulaeman Suwita Kusumah | 1951 - 1958 | |
d | Antan Sastradipura | 1958 - 1960 | |
e | Muhammad Hafil | 1960 - 1966 | |
f | Adang Kartaman | 1966 - 1970 | |
g | Drs. Supian Iskandar | 1970 - 1972 | |
h | Drs. Supian Iskandar | 1972 - 1977 | |
i | Drs. Kustandi Abdurahman | 1977 - 1983 | |
j | Drs. Sutarja | 1983 - 1988 | |
k | Drs. Sutarja | 1988 - 1993 | |
l | Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra | 1993 - 1998 | |
m | Drs. H. Misbach | 1998 - 2003 | |
n | H. Don Murdono,SH. Msi | 2003 - 2008 | |
o | H. Don Murdono,SH. Msi | 2008 - 2013 |
Prabu Agung Resi Cakrabuana (950 M)
Prabu Agung Resi Cakrabuana atau lebih dikenal Prabu Tajimalela dianggap sebagai pokok berdirinya Kerajaan Sumedang. Pada awal berdiri bernama Kerajaan Tembong Agung dengan ibukota di Leuwihideung (sekarang Kecamatan Darmaraja). Ia punya tiga putra yaitu Prabu Lembu Agung, Prabu Gajah Agung, dan Sunan Geusan Ulun.
Berdasarkan Layang Darmaraja, Prabu Tajimalela memberi perintah
kepada kedua putranya (Prabu Lembu Agung dan Prabu Gajah Agung), yang
satu menjadi raja dan yang lain menjadi wakilnya (patih). Tapi keduanya
tidak bersedia menjadi raja. Oleh karena itu, Prabu Tajimalela memberi
ujian kepada kedua putranya jika kalah harus menjadi raja. Kedua
putranya diperintahkan pergi ke Gunung Nurmala (sekarang Gunung
Sangkanjaya). Keduanya diberi perintah harus menjaga sebilah pedang dan
kelapa muda (duwegan/degan). Tetapi, Prabu Gajah Agung karena sangat
kehausan beliau membelah dan meminum air kelapa muda tersebut sehingga
beliau dinyatakan kalah dan harus menjadi raja Kerajaan Sumedang Larang
tetapi wilayah ibu kota harus mencari sendiri. Sedangkan Prabu Lembu
Agung tetap di Leuwihideung, menjadi raja sementara yang biasa disebut
juga Prabu Lembu Peteng Aji untuk sekedar memenuhi wasiat Prabu
Tajimalela. Setelah itu Kerajaan Sumedang Larang diserahkan kepada Prabu
Gajah Agung dan Prabu Lembu Agung menjadi resi. Prabu Lembu Agung dan
para keturunannya tetap berada di Darmaraja. Sedangkan Sunan Geusan Ulun
dan keturunannya tersebar di Limbangan, Karawang, dan Brebes.
Setelah Prabu Gajah Agung menjadi raja maka kerajaan dipindahkan ke
Ciguling. Ia dimakamkan di Cicanting Kecamatan Darmaraja. Ia mempunyai
dua orang putra, pertama Ratu Istri Rajamantri, menikah dengan Prabu Siliwangi dan mengikuti suaminya pindah ke Pakuan Pajajaran. Kedua Sunan Guling,
yang melanjutkan menjadi raja di Kerajaan Sumedang Larang. Setelah
Sunan Guling meninggal kemudian dilanjutkan oleh putra tunggalnya yaitu Sunan Tuakan. Setelah itu kerajaan dipimpin oleh putrinya yaitu Nyi Mas Ratu Patuakan. Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai suami yaitu Sunan Corenda, putra Sunan Parung, cucu Prabu Siliwangi (Prabu Ratu Dewata). Nyi Mas Ratu Patuakan mempunyai seorang putri bernama Nyi Mas Ratu Inten Dewata (1530-1578), yang setelah ia meninggal menggantikannya menjadi ratu dengan gelar Ratu Pucuk Umun.
Ratu Pucuk Umun menikah dengan Pangeran Kusumahdinata, putra
Pangeran Pamalekaran (Dipati Teterung), putra Aria Damar Sultan
Palembang keturunan Majapahit. Ibunya Ratu Martasari/Nyi Mas
Ranggawulung, keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon. Pangeran Kusumahdinata lebih dikenal dengan julukan Pangeran Santri
karena asalnya yang dari pesantren dan perilakunya yang sangat alim.
Dengan pernikahan tersebut berakhirlah masa kerajaan Hindu di Sumedang
Larang. Sejak itulah mulai menyebarnya agama Islam di wilayah Sumedang
Larang.
Ratu Pucuk Umun dan Pangeran Santri
Pada pertengahan abad ke-16, mulailah corak agama Islam mewarnai
perkembangan Sumedang Larang. Ratu Pucuk Umun, seorang wanita keturunan
raja-raja Sumedang Larang kuno yang merupakan seorang Sunda muslimah;
menikahi Pangeran Santri (1505-1579 M) yang bergelar Ki Gedeng Sumedang
dan memerintah Sumedang Larang bersama-sama serta menyebarkan ajaran
Islam di wilayah tersebut. Pangeran Santri adalah cucu dari Syekh
Maulana Abdurahman (Sunan Panjunan) dan cicit dari Syekh Datuk Kahfi,
seorang ulama keturunan Arab Hadramaut yang berasal dari Mekkah dan
menyebarkan agama Islam di berbagai penjuru daerah di kerajaan Sunda.
Pernikahan Pangeran Santri dan Ratu Pucuk Umun ini melahirkan Prabu Geusan Ulun atau dikenal dengan Prabu Angkawijaya. Pada masa Ratu Pucuk Umun, ibukota Kerajaan Sumedang Larang dipindahkan dari Ciguling ke Kutamaya.
Dari pernikahan Ratu Pucuk Umun dengan Pangeran Santri memiliki enam orang anak, yaitu :
- Pangeran Angkawijaya (yang terkenal dengan gelar Prabu Geusan Ulun)
- Kiyai Rangga Haji, yang mengalahkan Aria Kuda Panjalu ti Narimbang, supaya memeluk agama Islam.
- Kiyai Demang Watang di Walakung.
- Santowaan Wirakusumah, yang keturunannya berada di Pagaden dan Pamanukan, Subang.
- Santowaan Cikeruh.
- Santowaan Awiluar.
Ratu Pucuk Umun dimakamkan di Gunung Ciung Pasarean Gede di Kota Sumedang.
Prabu Geusan Ulun
Prabu Geusan Ulun (1580-1608 M) dinobatkan untuk menggantikan
kekuasaan ayahnya, Pangeran Santri. Ia menetapkan Kutamaya sebagai
ibukota kerajaan Sumedang Larang, yang letaknya di bagian Barat kota.
Wilayah kekuasaannya meliputi Kuningan, Bandung, Garut, Tasik, Sukabumi
(Priangan) kecuali Galuh (Ciamis). Kerajaan Sumedang Larang pada masa
Prabu Geusan Ulun mengalami kemajuan yang pesat di bidang sosial,
budaya, agama, militer dan politik pemerintahan. Setelah wafat pada
tahun 1608, putera angkatnya, Pangeran Dipati Rangga Gempol Kusumadinata
atau Rangga Gempol I, yang dikenal dengan nama Raden Aria Suradiwangsa menggantikan kepemimpinannya.
Pada masa awal pemerintahan Prabu Geusan Ulun, Kerajaan Pajajaran
Galuh Pakuan sedang dalam masa kehancurannya karena diserang oleh
Kerajaan Banten yang dipimpin Sultan Maulana Yusuf dalam rangka
menyebarkan Agama Islam. Oleh karena penyerangan itu Kerajaan Pajajaran
hancur. Pada saat-saat kekalahan Kerajaan Pajajaran, Prabu Siliwangi
sebelum meninggalkan Keraton beliau mengutus empat prajurit pilihan
tangan kanan Prabu Siliwangi untuk pergi ke Kerajaan Sumedang Larang
dengan rakyat Pajajaran untuk mencari perlindungan yang disebut Kandaga
Lante. Kandaga Lante tersebut menyerahkan mahkota emas simbol kekuasaan
Raja Pajajaran, kalung bersusun dua dan tiga, serta perhiasan lainnya
seperti benten, siger, tampekan, dan kilat bahu (pusaka tersebut masih
tersimpan di Museum Prabu Geusan Ulun di Sumedang). Kandaga Lante yang
menyerahkan tersebut empat orang yaitu Sanghyang Hawu atau Embah
Jayaperkosa, Batara Dipati Wiradijaya atau Embah Nangganan, Sanghyang
Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana atau Embah Terong Peot.
Walaupun pada waktu itu tempat penobatan raja direbut oleh pasukan
Banten (wadyabala Banten) tetapi mahkota kerajaan terselamatkan. Dengan
diberikannya mahkota tersebut kepada Prabu Geusan Ulun, maka dapat
dianggap bahwa Kerajaan Pajajaran Galuh Pakuan menjadi bagian Kerajaan
Sumedang Larang, sehingga wilayah Kerajaan Sumedang Larang menjadi luas.
Batas wilayah baratnya Sungai Cisadane, batas wilayah timurnya Sungai
Cipamali (kecuali Cirebon dan Jayakarta), batas sebelah utaranya Laut
Jawa, dan batas sebelah selatannya Samudera Hindia.
Secara politik Kerajaan Sumedang Larang didesak oleh tiga musuh:
yaitu Kerajaan Banten yang merasa terhina dan tidak menerima dengan
pengangkatan Prabu Geusan Ulun sebagai pengganti Prabu Siliwangi;
pasukan VOC di Jayakarta yang selalu mengganggu rakyat; dan Kesultanan
Cirebon yang ditakutkan bergabung dengan Kesultanan Banten. Pada masa
itu Kesultanan Mataram sedang pada masa kejayaannya, banyak
kerajaan-kerajaan kecil di Nusantara yang menyatakan bergabung kepada
Mataram. Dengan tujuan politik pula akhirnya Prabu Geusan Ulun
menyatakan bergabung dengan Kesultanan Mataram dan beliau pergi ke Demak
dengan tujuan untuk mendalami agama Islam dengan diiringi empat
prajurit setianya (Kandaga Lante). Setelah dari pesantren di Demak,
sebelum pulang ke Sumedang Larang ia mampir ke Cirebon untuk bertemu
dengan Panembahan Ratu penguasa Cirebon, dan disambut dengan gembira karena mereka berdua sama-sama keturunan Sunan Gunung Jati.
Dengan sikap dan perilakunya yang sangat baik serta wajahnya yang
rupawan, Prabu Geusan Ulun disenangi oleh penduduk di Cirebon.
Permaisuri Panembahan Ratu yang bernama Ratu Harisbaya jatuh
cinta kepada Prabu Geusan Ulun. Ketika dalam perjalanan pulang ternyata
tanpa sepengetahuannya, Ratu Harisbaya ikut dalam rombongan, dan karena
Ratu Harisbaya mengancam akan bunuh diri akhirnya dibawa pulang ke
Sumedang Larang. Karena kejadian itu, Panembahan Ratu marah besar dan
mengirim pasukan untuk merebut kembali Ratu Harisbaya sehingga terjadi
perang antara Cirebon dan Sumedang Larang.
Akhirnya Sultan Agung dari Mataram meminta kepada Panembahan
Ratu untuk berdamai dan menceraikan Ratu Harisbaya yang aslinya dari
Pajang-Demak dan dinikahkan oleh Sultan Agung dengan Panembahan Ratu.
Panembahan Ratu bersedia dengan syarat Sumedang Larang menyerahkan
wilayah sebelah barat Sungai Cilutung (sekarang Majalengka) untuk
menjadi wilayah Cirebon. Karena peperangan itu pula ibukota dipindahkan
ke Gunung Rengganis, yang sekarang disebut Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun memiliki tiga orang istri: yang pertama Nyi Mas
Cukang Gedeng Waru, putri Sunan Pada; yang kedua Ratu Harisbaya dari
Cirebon, dan yang ketiga Nyi Mas Pasarean. Dari ketiga istrinya tersebut
ia memiliki lima belas orang anak:
- Pangeran Rangga Gede, yang merupakan cikal bakal bupati Sumedang
- Raden Aria Wirareja, di Lemahbeureum, Darmawangi
- Kiyai Kadu Rangga Gede
- Kiyai Rangga Patra Kalasa, di Cundukkayu
- Raden Aria Rangga Pati, di Haurkuning
- Raden Ngabehi Watang
- Nyi Mas Demang Cipaku
- Raden Ngabehi Martayuda, di Ciawi
- Rd. Rangga Wiratama, di Cibeureum
- Rd. Rangga Nitinagara, di Pagaden dan Pamanukan
- Nyi Mas Rangga Pamade
- Nyi Mas Dipati Ukur, di Bandung
- Rd. Suriadiwangsa, putra Ratu Harisbaya dari Panembahan Ratu
- Pangeran Tumenggung Tegalkalong
- Rd. Kiyai Demang Cipaku, di Dayeuh Luhur.
Prabu Geusan Ulun merupakan raja terakhir Kerajaan Sumedang Larang,
karena selanjutnya menjadi bagian Mataram dan pangkat raja turun menjadi
adipati (bupati).
Pemerintahan di bawah Mataram
Dipati Rangga Gempol
Pada saat Rangga Gempol memegang kepemimpinan, pada tahun 1620 M Sumedang Larang dijadikannya wilayah kekuasaan Kerajaan Mataram di bawah Sultan Agung,
dan statusnya sebagai 'kerajaan' diubahnya menjadi 'kabupatian wedana'.
Hal ini dilakukannya sebagai upaya menjadikan wilayah Sumedang sebagai
wilayah pertahanan Mataram dari serangan Kerajaan Banten dan Belanda,
yang sedang mengalami konflik dengan Mataram. Sultan Agung kemudian
memberikan perintah kepada Rangga Gempol beserta pasukannya untuk
memimpin penyerangan ke Sampang, Madura. Sedangkan pemerintahan untuk sementara diserahkan kepada adiknya, Dipati Rangga Gede.
Dipati Rangga Gede
Ketika setengah kekuatan militer kadipaten Sumedang Larang
diperintahkan pergi ke Madura atas titah Sultan Agung, datanglah dari
pasukan Kerajaan Banten untuk menyerbu. Karena Rangga Gede tidak mampu
menahan serangan pasukan Banten, ia akhirnya melarikan diri. Kekalahan
ini membuat marah Sultan Agung sehingga ia menahan Dipati Rangga Gede,
dan pemerintahan selanjutnya diserahkan kepada Dipati Ukur.
Dipati Ukur
Tanggal 12 Juli 1628, datang utusan Mataram ke Timbanganten (Tatar
Ukur). Membawa surat tugas dari Sultan Agung, untuk memerintahkan
Adipati Wangsanata atau disebut juga Wangsataruna alias Dipati Ukur,
untuk memimpin pasukannya dan menyerbu VOC di Batavia membantu pasukan
dari Jawa. Waktu itu bulan Oktober tahun 1628. Dalam surat tersebut ada
semacam perjanjian bahwa pasukan Sunda harus menunggu Pasukan Jawa di
Karawang sebelum nantinya bersama-sama menyerang Batavia. Tapi, setelah
seminggu ditunggu ternyata pasukan dari Jawa tak juga kunjung datang
sementara logistic makin menipis. Karena logistic yang kian menipis dan
takut kalau mental prajurit keburu turun maka Dipati Ukur pun memutuskan
untuk terlebih dahulu pergi ke Batavia menggempur VOC sambil menunggu
bantuan pasukan dari Jawa.
Baru dua hari Pasukan Sunda yang dipimpin oleh Dipati Ukur berperang
melawan VOC, pasukan Jawa datang ke Karawang dan mendapati bahwa Pasukan
Sunda tak ada di sana. Tersinggung karena merasa tak dihargai,
bukannya membantu pasukan Sunda yang sedang mati-matian menggempur VOC
pasukan Jawa ini malah memusuhi Pasukan Sunda.
Ditengah kekalutan itu, datang utusan dari Dayeuh Ukur membawa surat
dari Enden Saribanon yang merupakan istri dari Dipati Ukur yang
mengabarkan bahwa para gadis, istri-istri prajurit dan bahkan dirinya
sendiri pun hampir diperkosa oleh panglima utusan Mataram dan
pasukannya. Panglima dari Mataram itu sendiri ada di Dayeuh Ukur dalam
rangka mengantarkan surat dari Sultan Agung dan begitu mendengar bahwa
Dipati Ukur tak mengindahkan pesan dari Sultan Agung untuk menunggu
pasukan Jawa di Karawang, para panglima ini kemudian melampiaskan kemarahannya dengan memperkosa gadis-gadis dan juga merampas harta benda mereka.
Mendengar kabar itu, Dipati Ukur yang sedang berperang memutuskan
untuk menghentikan perang dan kembali ke Pabuntelan (Paseurdayeuh Tatar
Ukur, atau Baleendah - Dayeuhkolot sekarang). Dipati Ukur yang marah
dengan kelakuan para utusan Mataram itu sesampainya di Pabuntelan
langsung menghabisi para utusan Mataram itu. Sayangnya, dari semua
utusan itu ada satu orang yang lolos dari kematian dan kemudian melapor
kepada Sultan Agung perihal apa yang dilakukan oleh Dipati Ukur terhadap
teman-temannya.
Dalam ‘Negara Kerta Bhumi’ disebutkan bahwa salah satu watak
Sultan Agung adalah jika memberi tugas kepada bawahannya itu tidaklah
boleh gagal. Jika gagal maka sudah dipastikan bahwa yang bersangkutan
akan dihukum mati. Maka, panglima Mataram yang lolos ini pun agar
terhindar dari hukuman mati mengaranglah ia tentang kenapa pasukan
Mataram bisa gagal menaklukan VOC. Semua kesalahan itu ditimpakan ke
pundak Dipati Ukur. Sultan Agung pun murka karena bagaimana pun juga
mundurnya Dipati Ukur dari medan perang merupakan kerugian besar bagi
Mataram. Intinya, penyebab kalahnya Mataram adalah karena mundurnya
Dipati Ukur. Oleh karenanya, Dipati Ukur dicap penghianat dan mau
memberontak kepada Mataram. Jadi, karena Dipati Ukur dianggap
memberontak maka Dipati Ukur pun oleh Sultan Agung pantas dihukum mati.
Akhirnya Sultan Agung pun menyuruh Cirebon untuk menangkap Dipati Ukur
hidup atau mati. Penumpasan Dipati Ukur itu dipimpin langsung oleh
Tumenggung Narapaksa dari Mataram.
Dari kenyatan itu, Dipati Ukur kemudian sadar bahwa dirinya sejak
sekarang harus menghadapi Mataram. Kekuatan pun di susun. Dipati Ukur
mulai melobi beberapa bupati untuk juga melawan Mataram dan menjadi
kabupaten yang mandiri. Ajakan ini menimbulkan pro dan kontra. Sebagian
ada yang setuju seperti Bupati Karawang, Ciasem, Sagalaherang, Taraju,
Sumedang, Pamanukan, Limbangan, Malangbong dan sebagainya. Dan sebagian
laginya tidak setuju. Di antara yang tidak setuju itu adalah Ki Somahita
dari Sindangkasih, Ki Astamanggala dari Cihaurbeuti, dan Ki Wirawangsa
dari Sukakerta.
Belum juga Dipati Ukur berhasil mewujudkan impiannya untuk mendirikan
kabupaten mandiri yang lepas dari kekuasan Mataram tiba-tiba Bagus
Sutapura, salah satu pemuda yang sakti mandraguna (putra dari bupati
Kawasen, wilayah Galuh) yang merupakan algojo yang dimintai tolong oleh
Tumenggung Narapaksa keburu datang untuk menangkapnya. Terjadilah
pertarungan sengit antar keduanya (dikabarkan hingga 40 hari 40 malam).
Setelah semua tenaga terkuras akhirnya Dipati Ukur pun dapat diringkus
kemudian dibawa ke Cirebon untuk diserahkan ke Mataram. Dipati Ukur pun
akhirnya di hukum mati di alun-alun Mataram dengan cara dipenggal
kepalanya. Sepeninggal Dipati Ukur wafat, kekuasan Mataram di tatar
Sunda pun kian kukuh. Bahkan di wilayah pesisir utara, banyak pasukan
Mataram yang tak kembali lagi ke Mataram dan lebih memilih memperistri
penduduk setempat. Untuk memenuhi kebutuhan hidup para prajurit ini
kemudian banyak yang membuka lahan sawah terutama di daerah Karawang,
berbeda dengan kebiasaan masyarakat Sunda waktu itu yang umumnya
berkebun. Mungkin, inilah yang pada akhirnya sampai sekarang Karawang
terkenal dengan sawahnya dan menjadi salah satu lumbung padi di Jawa
Barat.[2][3]
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjung di blog pribadi saya.
EmojiOrder Ubi Cilembu
Call/SMS/WA. 082319517777