Post Anyar

6/recent/ticker-posts

Budaya Malu



 Oleh Wiyanto Suud
Alumni KMI Gontor 2000
Memiliki rasa malu. Dan batang pohon akan tetap segar, selama ada kulitnya. Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup. Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna. Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat. Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu. Abu Tamam (w 231 H)
Selama ini, mungkin kita sering mendengar atau mengelu-elukan kalau Indonesia ini negeri yang sangat subur, negeri yang sangat kaya akan SDA, bahkan tongkat ditancapkan saja tumbuh menjadi tanaman. Cak Nun sering mengatakan bahwa seolah-olah surga itu bocor dan turun ke dunia menjadi sepenggal tanah bernama Indonesia.
Karena itu, kita sering mengukur kemajuan atau kesuksesan—baik itu individu, organisasi, maupun bangsa—dengan pendekatan pada sumber daya, tapi menjauhkan dari budaya hidup positif dalam kehidupan sehari-hari. Kekayaan yang melimpah ruah pun menjadi tidak ada artinya karena mental SDM kurang mumpuni. Contoh yang paling sederhana adalah hilangnya budaya malu.
Bisa dibayangkan, jika rasa malu itu telah hilang dalam diri seseorang, segala perilakunya makin sulit dikendalikan. Dia akan melakukan berbagai perbuatan tak terpuji, seperti korupsi, menyontek, menipu, dan lain sebagainya. Hilangnya rasa malu merupakan awal datangnya bencana bagi diri orang yang bersangkutan dan orang lain di sekitarnya.
Jika mau menggali, sebenarnya kita memiliki tradisi rasa malu yang mengakar di tengah masyarakat. Adat Minangkabau mengatakan “Raso jo pareso”. Artinya, rasa malu orang Minangkabau harus tinggi. Dari rasa malu, timbul sikap sopan. Kalau orang Minangkabau tidak lagi memiliki rasa malu, maka hilanglah keminangannya.
Kita juga mengenal budaya “Siri’ na pacce” yang menjadi salah satu falsafah budaya masyarakat Bugis. Bagi masyarakat Bugis, siri’ mengajarkan moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban. Siri’ adalah rasa malu yang terurai dalam dimensi-dimensi harkat dan martabat manusia. Siri’ adalah sesuatu yang “tabu” bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan orang lain.
Dalam sebuah mahfuzhat, Abu Tamam membuat perumpamaan seseorang yang tidak memiliki rasa malu itu seperti pohon yang tidak memiliki kulit. Selain sebagai media melakukan fotosintesis, kulit pohon merupakan pelindung batang kayu di dalamnya. Selama masih ada kulitnya, maka pohon itu akan tetap segar dan subur.
Makna kiasnya, seseorang yang tidak memiliki rasa malu sama halnya dia tidak memakai baju. Peradaban mana pun, pasti tidak membenarkan seseorang yang tidak memakai baju berkeliaran di mana-mana. Justru mereka yang memakai baju serba minim, cenderung diidentikkan dengan suku-suku primitif di pedalaman. Jadi, baju adalah simbol peradaban.
Abu Tamam juga mengingatkan:
Jika kau tidak takut dengan siksa akhirat
Dan tidak malu, maka perbuatlah sesukamu
Setidaknya, ada tiga makna yang terkandung dalam bait ini. Pertama, pembolehan. Artinya, jika engkau akan mengerjakan sesuatu, maka lihat dan perhatikan. Jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah SWT dan manusia, maka lakukanlah. Sebaliknya, jika tidak, maka tinggalkanlah.
Kedua, penjelasan. Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan yang dijauhi oleh orang-orang yang mempunyai rasa malu. Karena sesuatu yang menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu.
Ketiga, peringatan dan ancaman. Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu, maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu—baik di dunia maupun di akhirat.
Jadi, malu pada hakikatnya tidak mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak untuk menghias diri dengan akhlak mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina. Malu adalah kebaikan seluruhnya. Karena itu, Abu Tamim mengatakan, Demi Allah, tiada kebaikan dalam hidup. Dan tiada arti dunia, bila malu telah sirna.

Post a Comment

0 Comments