Banyak yang tidak tahu tentang awal mula berdirinya SMPN 3 Pamulihan ini... nih admin suguhkan sedikit cerita yang kebetulan sudah diposting oleh blogger lain (http://bukan-tokohindonesia.blogspot.com) semoga bermanfaat >
Oleh : Her Suganda
Siapa pun boleh menggantungkan cita-cita setinggi langit. Tak terkecuali Muhamad Yusuf Supriatna. Realitasnya? Sebuah impian tak datang begitu saja menjadi kenyataan. Impian hanya bisa diraih dengan kerja keras.
Supriatna, begitu ia biasa dipanggil, tak hanya bekerja keras. Ia juga siap mental menerima ejekan dan penghinaan dari orang yang akan dibantu. "Urus saja diri sendiri, jangan sok mau mengurus orang lain." Itu salah satu ungkapan yang pernah dia terima.
Kepada orangtua yang anaknya tamat sekolah dasar (SD), Supriatna mengutarakan niatnya hendak membuka sekolah menengah pertama (SMP) terbuka di desa. Tujuannya, agar anak-anak bisa melanjutkan pelajaran ke jenjang yang lebih tinggi. "Penduduk daerah ini umumnya bekerja sebagai petani dan buruh kecil," ungkapnya.
Penghasilan warga yang terbatas mengakibatkan anak-anak hanya tamat SD. Untuk melanjutkan ke SMP negeri terdekat di Cirengganis, jaraknya sekitar tujuh kilometer. Ini pun tak terjangkau angkutan pedesaan. Mereka mesti menumpang ojek Rp 10.000 pergi-pulang setiap hari.
Hati Supriatna tergerak usai suatu penyelenggaraan khitanan massal di desa. Salah satu orangtua anak mendatanginya. "Kalau mau nolong orang lain jangan tanggung-tanggung. Coba adakan pendidikan SMP," katanya menirukan ucapan orang itu.
Supriatna sempat berpikir, dia tak mungkin bisa menyediakan sekolah. Dia pun tak punya pengalaman di bidang pendidikan. Dia bukan pendidik, bahkan pekerjaannya sehari-hari jauh dari kegiatan belajar-mengajar.
Pedagang ubi cilembu
Supriatna mengandalkan hidupnya sebagai pedagang buah- buahan keliling. Ia menjajakan dagangan dari rumah ke rumah di kota Sumedang, Jawa Barat, dengan cara dipikul.
"Kadang-kadang saya ke kantor pemda," ucapnya.
Tetapi, saat musim panen ubi cilembu di desanya, Desa Cilembu, Kecamatan Pamulihan, Sumedang, Jawa Barat, ia khusus berjualan ubi cilembu yang terkenal amat manis dan empuk.
"Saat itu saya hanya menjual ubi cilembu asli," katanya. Musim panen ubi cilembu hanya antara Agustus-September.
Untuk menopang ekonomi keluarga, istri Supriatna, Titin, membuka warung. Titin berjualan lotek dan gado-gado di depan rumah warisan orangtua yang berdinding tripleks.
Meski hidup di kampung dan berjualan buah-buahan, Supriatna terus berusaha memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pendidikan SMP terbuka. Sambil berjualan dia berusaha mencari calon siswa dari rumah-rumah yang dia datangi.
Dia tak bosan bercerita tentang keinginan membuka lembaga pendidikan dan manfaatnya. Agar lebih meyakinkan, sering kali dia ditemani rekannya sesama anggota karang taruna.
Ketika itu, sebagian orang meragukan rencananya. Mereka tahu siapa Supriatna. Kecuali dikenal sebagai pengurus karang taruna di desa, ia tak punya kelebihan dari warga desa lainnya. Bahkan, pendidikan formalnya tak sampai bangku SMP.
Namun, Supriatna tak menyerah. Dia terus mendatangi rumah-rumah warga yang anaknya tamat SD. Setelah tiga bulan masuk-keluar kampung, ia bisa menggaet 15 calon siswa. Padahal, salah satu syarat membuka SMP harus memiliki sedikitnya 25 calon siswa.
Untuk menambah calon siswa lebih cepat, dia menggaet Mang Aban, amil di Cigendel, tetangga Kampung Cilembu. Berkat bantuan pemuka masyarakat itu, jumlah calon siswa mencapai 34 orang.
Honor guru dibagi rata
Menumpang pada bangunan SD Negeri Cilembu, SMP terbuka yang dirintis Supriatna kini memasuki tahun ketiga. Jumlah siswanya sekitar 200 orang, 147 orang di antaranya siswa aktif. "Tahun ini kami mengikuti ujian nasional untuk pertama kali," tuturnya.
Pendidikan diselenggarakan sejak pukul 12.00 agar siswa bisa membantu orangtua. "Anak saya kalau pagi menjaga warung," kata Titin. Anak-anak lain ada yang menyabit rumput untuk makanan ternak peliharaan orangtua.
Sebagian besar murid SMP terbuka itu tak mampu, bahkan untuk menyediakan perlengkapan sekolah sekalipun. Ada murid berpakaian seragam robek, ada lagi yang hanya punya satu-dua buku tulis.
SMP terbuka ini punya 10 guru. Namun, bantuan yang diterima dari Departemen Pendidikan Nasional hanya Rp 330.000 untuk tiga guru. Jadilah honor itu dibagi rata untuk 10 orang. Praktis, setiap guru menerima Rp 33.000 per bulan.
Biar begitu, murid-muridnya boleh berbangga hati. Ada kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung sehingga sekolah ini punya LCD projector, selain juga mendapat bantuan pelatih catur tingkat nasional. Pelajaran ekstrakurikuler disesuaikan dengan kebutuhan penduduk setempat, seperti bertanam obat, beternak biri-biri, dan pembuatan kerupuk berbahan baku susu murni.
Jadi guru komputer
Supriatna mengajar teknik informatika meski dia tak pernah mengikuti pendidikan khusus atau kursus komputer. "Saya nekat belajar sendiri," ujarnya.
Dengan latar pendidikan SD, ia mengaku kesulitan memahami istilah-istilah komputer yang berbahasa Inggris. "Saya tidak tahu istilah-istilahnya, seperti apa yang dimaksud enter," tuturnya polos.
Sambil membaca buku panduan, ia menekan tuts pada keyboard. "Alhamdulillah, sekarang saya sudah bisa," katanya sambil mengoperasikan komputer.
Sebuah monitor terletak di atas meja yang semula meja tamu. Sambil duduk bersila di lantai rumah, dia bekerja. Keyboard komputer dia taruh di atas sebuah kardus bekas.
Sadar oleh keterbatasannya dalam pendidikan formal, Supriatna kini mengikuti program Kelompok Belajar (Kejar) Paket B dan C. Cita-cita yang masih dia perjuangkan adalah mendirikan SMP negeri. Biar program belajar sembilan tahun bisa tercapai, katanya.
"Sekarang, baru tanahnya yang sudah tersedia, luasnya sekitar 6.000 meter persegi," katanya.
* Her Suganda Anggota Forum Wartawan dan Penulis Jawa Barat
Sumber : Kompas, Rabu, 2 Mei 2007
0 Comments
Terima Kasih telah berkunjung di blog pribadi saya.
EmojiOrder Ubi Cilembu
Call/SMS/WA. 082319517777